Aku Benci Menangis

Napasku terengah-engah, peluh mengalir membasahi rambutku yang terjuntai. Perlahan aku terisak, dan larut dalam kesedihan. Makin dalam kubenamkan wajahku pada bantal yang kusut, hingga airmata mulai mengalir deras dan membanjir.

“Sudahlah, hanya mimpi buruk, ucapkan istighfar” sembari memelukku dengan penuh hangat

Ya, hangat..rasa yang telah lama tak ku rasakan, setiap kali rasa ini ada seolah sedang bergulat dengan kepedihan dan rasa gamang didalam hatiku. Dan setiap kali pula rasa ini seperti sebuah magnet, yang menarik dekat setiap benda, setiap rasa, menjadi satu kumpulan yang membuncah dan sulit untuk ku ungkapkan.

“Aku ingat ibu, dan aku…aku…aku…rindu sekali rasanya” Ku jawab ucapannya dengan tergugu

“Iya, aku paham perasaanmu, relakan dan ikhlaskan, kalau memang rindu doakan beliau”

Aku justru menangis lebih keras, bukan karena ucapannya..tapi karena aku merasa tak mampu merelakan ibuku, aku tak bisa percaya bahwa ini nyata, kenapa harus aku, kenapa harus keluargaku, setiap pertanyaan apa dan mengapa memenuhi otakku, tapi aku sama sekali tak tahu jawabannya, dan hanya airmata yang mampu dikeluarkan tubuhku atas reaksi pertanyaan-pertanyaan yang terngiang dipikiranku itu.

Semakin dalam aku peluk tubuh kokoh itu, mencari kehangatan dan kedamaian disetiap lekuk tubuhnya, dan dia pun seolah tahu, ia rapatkan pelukannya, Tuhan, jikalau boleh aku ingin seperti ini setiap detik agar tak ada lagi pilu yang aku rasakan.

Hari itu, lupa tepatnya tanggal berapa. Sebenarnya bukan lupa, tapi mencoba untuk tidak mengingat tanggal, bukan untuk tidak perduli, hanya saja aku tak ingin menandai angka pada kalenderku hanya untuk mengingat kesedihan dalam kebahagiaanku. Yang jelas saat itu bulan Agustus tahun 2010, awal kisah hidupku dimulai.

Aku, satu-satunya anak perempuan dalam keluargaku. Bukan keluarga yang kaya, bisa dibilang kami hidup berkecukupan. Cukup untuk makan, cukup untuk hidup keseharian. Kakakku satu, laki-laki, adikku satu, laki-laki juga. Ibuku adalah seorang pedagang, huufff…bukan pedagang, hanya penjual kecil. Kenapa aku bilang bukan pedagang, karena pedagang biasanya punya kios mapan, punya modal besar, barang dagangannya melimpah dengan keuntungan yang besar setiap harinya. Tapi ibuku, hanya bermodalkan sepeda butut dengan keranjang kecil didepannya, biasanya keranjang itulah yang ia isi dengan berbagai macam hasil panen kami dari halaman rumah, atau terkadang bila sudah tidak punya uang untuk hidup, keranjang itu diisi dengan beras setengah dari jatah kami makan hari ini. Kadang-kadang pula ia membawa baju-baju bekas layak pakai milik kami untuk dijual. Setiap pagi ia kayuh sepeda itu ke pasar-pasar tradisional untuk menjual apa saja barang yang ada dalam keranjang sepedanya. Kalau sudah tak laku, ia hanya menukarkan barang jualannya dengan beras dan sembako yang kami butuhkan untuk makan. Boro-boro keuntungan, barang yang dijual laku saja kami sudah sangat bersyukur.

Bapakku, huuuff…seandainya saja aku sudah tidak punya hati dan tidak berbakti, mungkin aku tak akan mau memanggilnya bapak. Selama ini aku bertahan memanggilnya begitu, hanya karena ibu.

Aku tahu ibu mencintainya. Terkadang aku heran, kenapa ibu bisa hidup bersama sekian puluh tahun dengan lelaki yang tak pernah berusaha untuk membantu mencari nafkah, secara dia adalah kepala keluarga. Lelaki yang hanya bisa mengandalkan istrinya untuk mendapatkan uang. Padahal ia sehat. Mungkin aku tak akan berpikiran seperti itu jika ia cacat, atau gila. Atau memang dunia ini sudah gila karena slogan-slogan emansipasi wanita, makanya lelaki ini membiarkan istrinya banting tulang untuk menghidupi keluarga. Aku tahu, bahwa bapakku juga ikut andil dalam membesarkanku, entah melalui apa, karenanya aku masih menganggapnya sebagai orang tuaku. Sampai akhirnya aku tahu, dia bapakku bukan hanya milik ibuku, tetapi juga perempuan-perempuan jalang diluar sana. Terakhir yang aku tahu, istri-istri liar bapakku umurnya tidak lebih tua dari umurku. Gila!.

Hari berganti tanpa ada yang special, rutinitas kami sama. Hanya di hari itu mendung menggelayut, angin bertiup kencang membawa partikel-partikel kesedihan dalam sendi-sendi tubuhku. Betapa tidak, ibuku terbaring sakit, tanpa mampu bergerak. Yaah…vonis dokter ibuku menderita stroke. Beberapa bagian tubuhnya tidak lagi mampu berkoordinasi baik dengan otak. Tangan kanannya kaku dan katanya sakit jika disentuh. Semakin lama semakin buruk kondisinya. Dan semuanya itu berbanding lurus dengan gencarnya kabar berita yang didengar ibuku tentang kelakuan suaminya. Istri mudanya, ciihh…aku tak mau memanggilnya begitu, lebih tepat aku panggil perempuan gatel. Ya..perempuan gatel itu kabarnya hamil 7 bulan, bapakku lah ayah dari anak yang dikandungnya. Dan bapakku sudah jarang pulang, mungkin mengurusi perempuan gatel itu, atau bahkan dia malu bertemu dengan ibuku dan anak-anaknya. Malu? Aku rasa dia sudah tak punya malu, kalaupun punya kenapa bisa menghamili gadis yang umurnya sama dengan umurku. Tanpa ikatan pernikahan, tanpa persetujuan dari ibuku.

Tubuh ibu semakin melemah, kadang tak mau makan, tak mau minum obat. Pandangannya kosong seolah mencari keadilan. Kadang menangis sediri tanpa sebab. Sejak ibu sakit, otomatis kondisi ekonomi kami melemah. Untungnya kakakku punya penghasilan tetap dari showroom servis sepeda motor tempatnya bekerja. Adikku juga bekerja di kafe sebagai pelayan, dan aku sendiri juga pelayan disebuah restoran terkenal di Yogyakarta. Penghasilan kami memang tidak besar, ditambah lagi kami harus membiayai pengobatan ibu. Obat yang menjadi penyangga kesehatannya tidak cukup murah. Hanya dengan menelan obat itulah ibu masih kuat merasakan sakit ditubuhnya, sehingga tak ada pilihan lain kami harus tetap membelikan jika obat itu habis.

Umurku sudah 27 tahun, dan aku mengenal pria yang cukup pas dengan seleraku. Ia juga seorang pelayan dari restoran tempatku bekerja. Namanya Irwan, pria jawa dengan logat bahasanya yang khas. Hubungan kami tak cukup lama berlangsung, sampai kami memutuskan untuk melanjutkannya ke jenjang pernikahan. Hari itu Irwan melamarku dan telah ditetapkan tanggal pernikahan kami. Masih 2 bulan lagi, masih ada waktu untuk kami menabung dan mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan kami. Bukan menyombong, tapi memang pernikahan kami harus kami biayai sendiri, tidak mungkin mengandalkan orang tuaku. Ibuku sakit, bapakku tidak bertanggungjawab. Apalagi harapan kami, hanya dari uang gaji kami yang ditabung bersama untuk pernikahan nanti.

Waktu itu pertengahan Agustus. Sudah setahun ini aku dipindahkan ke Kota Semarang, tetap di restoran yang sama, karena ada cabang baru di Semarang maka aku dipindahkan kesana. Aku kost dideretan perumahan yang tidak jauh dari tempatku bekerja. Tempatnya lumayan rapi, bersih, dan cukup murah untuk budget dikantongku. Pagi itu, akupun masih meringkuk dalam selimut tebal.

Semalam aku dapat shift malam, jadi pagi ini aku mengantuk sekali dan berencana bangun nanti sekitar jam 10an. Namun semua buyar dengan deringan hp yang mendayu-dayu.

“Ahh….,siapa sih pagi-pagi gini” dengan malas aku beranjak dari tempat tidur untuk mengambil hp di meja kamar.

“Ya..halo”….

“Ida, Ibumu meninggal”

“Haaahh…Inalillahi wainailaihi rojiun…” tak terbendung lagi airmataku

“Aku segera pulang”..jawabku selanjutnya

Aku kehilangan akal sehatku, mataku sudah tak mau berhenti mengalirkan airmata. Sekilas puzzle-puzzle kenangan tentang ibuku silih berganti membayangi. Kelopak mataku terasa berat, napasku pun terasa sangat berat, seolah ada puluhan batu berat yang menghimpit. Tuhan, salah apa aku? Kenapa secepat ini?Kenapa harus ibuku?Kenapa…Kenapa…?semakin aku bertanya aku semakin rapuh. Bahkan aku seperti orang yang tak punya tulang, tak mampu berdiri…dengan gemetar tanganku mulai mencari-cari nomor hp Mas Irwan. Aku ingin dia mengantarku pulang.

“Halo..ada apa Da?”

“Mas, antarkan aku pulang ke Jogja” sahutkku sesenggukan, “ Ibu meninggal” lanjutku

“Inalillahi wa inailaihi rojiun.., oke, sebentar lagi aku jemput kamu, sabar ya jangan panik”

Telpon ditutup, aku tergugu lagi….apa sekarang yang harus ku lakukan, kenapa umur ibu tidak menunggu sampai kami menikah. Betapa ingin aku Beliau hadir menyaksikan hari bahagiaku yang hanya tinggal 2 bulan lagi.  Ku ambil bajuku secara acak, aku hanya ingin secepatnya sampai di jogja. Secepatnya melihat ibuku untuk terakhir kalinya.

Mas Irwan sampai 20 menit kemudian di kostku, tanpa banyak bicara aku segera membonceng dan memeluknya punggungnya dengan erat. Aku hanya ingin membagi kepedihanku yang terasa berat dengannya. Aku tahu dia mengelus punggung tanganku yang erat memeluk tubuhnya. Dan itu cukup membuatku sedikit tersenyum.

Perjalanan ke jogja tidak lama, mungkin satu setengah jam jika jalanan lancar. Seperti pagi itu, jalanan tampak lengang. Hanya beberapa motor lalu lalang. Pukul 9.00 wib kami sampai di rumah. Aku berlari, sebenarnya ada rasa takut, takut aku tak kuat melihat jenazah ibuku. Tersedu aku melihat kain kafan yang diselimutkan pada almarhumah. Terbaring ia tak berdaya, matanya tertutup rapat, seolah damai, tapi juga menyiratkan rasa sakit. Ku edarkan pandangan pada sekeliling ruangan, entah mencari apa, semuanya terlihat kabur. Ada bapak, ada kakakku, ada adikku, ada orang-orang yang tak ku kenal, semuanya diam, membisu dari kesedihan. Perlahan ku gapai tangan ibuku yang telah disedekapkan, tak kuat aku rasanya hingga aku menangis sejadi-jadinya.

Lalu Kakakku menghampiriku

“Pernikahanmu dilangsungkan sekarang saja Da” kata kakakku dengan suara sedikit tercekat

“Tapi…semuanya belum beres Mas” sahutku cepat

“Ibu pengen lihat kamu menikah…, Kami semua yang disini sudah berunding, pernikahanmu dilakukan sekarang sebelum beliau dimakamkan, aku mohon kamu gak keberatan, demi almarhumah”

“Iya Da, enggak perlu menyiapkan apa-apa, seadanya saja, yang penting beliau bisa menjadi saksi pernikahanmu meskipun dalam kondisi seperti ini” tambah bulik yang sedari tadi duduk didekat jenazah ibuku

Aku menangis lagi, rasanya semakin membanjir saja airmata ini…tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya jika harus menikah didepan jenazah ibuku. Ku palingkan pandangan ke Mas Irwan, dia tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Tuhan, apalagi yang kau rencanakan untukku.

Tanpa banyak persiapan semua orang yang melayat disitu berganti aktivitas untuk menyiapkan segala sesuatu untuk pernikahan dadakanku. Jangan pernah berfikir pernikahanku akan semegah pernikahan-pernikahan yang diurus oleh Weding Organizer, bahkan baju kebaya yang aku pakai adalah baju kebaya lama berwarna putih yang ku simpan mungkin lebih dari 3 tahun. Untungnya masih muat untuk badanku. Riasan wajah juga hanya sesederhana mungkin, hanya lipstik merah dioleskan agak tebal untuk menutupi bibirku yang hitam akibat sering terpapar sinar matahari, serta foundation dan bedak yang diratakan hingga wajahku tidak lagi terlihat pucat dan sembab karena kebanyakan menangis. Demikian juga dengan Mas Irwan, Ia tergopoh-gopoh pulang ke Muntilan karena orangtuanya tinggal disana. Secepat mungkin membawa mereka ke rumah duka untuk menyaksikan pernikahan anak lelakinya. Penghulu dipanggil, tetangga-tetangga diundang mendadak, para kerabat dan saudara membantu menyiapkan masakan untuk sekedar wujud syukur serta menghormati undangan yang hadir.

Tiba saatnya aku bersimpuh disamping Mas Irwan, ditengah antara aku dan dia ada bapak sebagai wali. Di depanku bapak penghulu yang sudah siap dengan berbagai kertas catatannya. Didekat meja ijab qabul itulah ibuku dibaringkan. Ku tahan airmata yang sudah hampir jatuh, ingat kalau aku menangis sekarang pasti riasanku jadi hancur, padahal acaranya belum dimulai. Aku tahu, aku mendengar setiap tamu undangan yang hadir dan duduk diruangan itu terisak melihat semua ini. Ku bangkitkan sendiri rasa gembiraku agar tidak larut dalam kesedihan. Ini pernikahanku, hari yang selalu aku tunggu.

Penghulu mulai membacakan doa-doa, mengajarkan cara-cara ijab qabul yang sah menurut agama kepada Mas Irwan, serta mengajarinya melafalkan ijab qabul nanti. Mas Irwan menjabat tangan bapak penghulu, mengucapkan bismilah diteruskan dengan kalimat ijab qabul dengan jelas dan lantang. Bapak penghulu menyatakan ijab qabul kami sah. Alhamdulillah. Barulah airmata yang sedari tadi ku tahan tak terbendunng lagi aku peluk bapakku, kakakku, dan adikku. Ingin rasanya ku peluk juga tubuh ibu yang sedari tadi terbaring diam mengikuti setiap jalannya ijab qabul. Tangis kami pecah, seluruh yang hadirpun demikian. Semoga engkau bahagia Bu, semoga engkau melihat anakmu hari ini memulai kehidupan rumah tangganya, semoga engkau tenang disisi-Nya. Selesai ijab qabul, maka jenazah ibuku diangkat dan dipanggul menuju makam untuk disemayamkan. Inilah saat terakhir aku melihat jasad ibuku. Perempuan tangguh yang mengabdikan hidupnya untuk keluarga dan anak-anaknya. Bekerja tanpa mengenal malu dan waktu. Sesosok ibu yang selalu membekas dihatiku, hingga aku ingin bisa sepertinya nanti dalam membina keluarga bersama Mas Irwan. Tanah basah itu akhirnya tertutup rapat, taburan bunga warna-warni menghiasi dan mengharumkan tempat itu. Aku dan Mas Irwan bersiap untuk meninggalkan makam, membiarkan ibuku terbaring dalam damai dialam sana, dan membiarkan para malaikat mulai mengerjakan tugasnya setelah langkah ketujuh kami meninggalkan tempat peristirahatan itu.

Seperti pagi itu, setelah mimpi semalam aku datang ke makam ibuku. Berdoa disana, mendoakannya. Serta memberitahunya kabar gembira seolah dia bisa mendengar. Ya, kabar gembira. Hari ini umur kehamilanku masuk 5 bulan. Anakku, cucu ibuku, akan segera lahir. Semoga ibu bisa melihat kebahagiaan kami dialam sana. Hidup memang seperti ini, ada yang mati lalu lahir yang baru, ada tangis yang kemudian berubah jadi tawa gembira. Ahh…kisahku akan segera berlanjut ketika anak dalam kandunganku ini lahir. Semoga akan menjadi keceriaan dalam hidup suram yang sempat kulalui.

 

*Terinspirasi dari kisah hidup teman masa kecilku, jangan pernah menangisi masa lalu karena aku yakin akan ada banyak tawa untukmu dimasa depan*